MENDIDIK, MENGAJAR, DAN PAMER PENGETAHUAN
IDEALNYA setiap guru—dan setiap ustadz dan setiap dosen—tidak hanya
mengajar pada waktu ia berdiri di depan kelas, tetapi juga mendidik.
Jadi di samping membimbing para siswa untuk menguasai sejumlah
pengetahuan dan ketrampilan (mengajar), setogyanya guru juga
membimbing siswa-siswanya mengembangkan segenap potensinya yang ada
dalam diri mereka (mendidik).
Masalahnya ialah bahwa mendidik ternyata tidak semudah mengajar.
Untuk dapat benar-benar mendidik, tidak cukup kalau guru hanya
menguasai bahan pelajaran. Ia harus tahu, nilai-nilai apa yang dapat
disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada para siswa.
Guru harus tahu, sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang
pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Dapatkah
satu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang
pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada
diri para siswa? Dan kalau dapat, bagaimana caranya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang dipikirkan oleh setiap guru
yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi
perbuatan mendidik. Dan ini bukan suatu hal yang mudah. Inilah
sebabnya, mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan
diri mereka menjadi pendidik. Mereka terpaku dalam melaksanakan aspek
pengajaran dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari. Dan kalau hal
ini terjadi pada sebagian besar guru, maka hasil yang akan diperoleh
ialah siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup
mantap kepribadiannya. Kalau ini sempat terjadi, maka kita menghadapi
situasi yang cukup gawat.
Ini semua tidak berarti, bahwa pekerjaan itu mudah. Untuk dapat
mengajar dengan baik diperlukan sikap tertentu. Yaitu sikap gemar
mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang
lain. Orang yang mudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik. Begitu juga
orang yang selalu ingin menonjol, selalu ingin lebih tahu dari orang
lain, juga tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.
Di samping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan
kemampuan tertentu untuk menjadi pengajar yang baik. Antara lain
ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematis,
kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan
kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu
program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam
kehidupan para siswa.
Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan
ikhtiar dan waktu. Tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh, akan mudah
sekali bagi seorang guru untuk terjebak dalam perbuatan pamer
pengetahuan ketika mereka berdiri di depan kelas. Guru yang baik pun
dapat sesekali terjatuh dalam kesalahan ini. Ia sibuk di depan kelas,
tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan
pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang
diperlihatkan siswa-siswanya! Menurut pengalaman saya, ini merupakan
suatu hal yang mudah sekali terjadi dalam kehidupan seorang guru.
Selama pamer pengetahuan ini terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang
ditimbulkannya adalah kekaguman siswa, saya kira situasinya masih
baik. Tetapi apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan perbuatan
yang disengaja, apabila guru memang sudah menyerah kepada keinginan
untuk memamerkan kehebatan pengetahuannya, maka secara pedagogis yang
kita hadapi ialah suatu situasi yang sangat tidak etis. Yang kita
hadapi dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan
kelemahan-kelemahan para siswa: kekurangan pengetahuan mereka,
keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka
menghadapi guru. Dalam hal ini dampak yang akan timbul bukan
kekaguman, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima
dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru. Sedihnya ialah bahwa
nampaknya dalam masyarakat kita ada kelompok guru—atau ustadz atau
dosen—yang justeru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa ini.
Ini sungguh suatu sikap yang tidak etis. Menurut pendapat saya yang
terjadi di sini bukan hanya suatu kesalahan pedagogis, melainkan suatu
dosa pedagogis.
Jadi apa yang perlu kita usahakan bersama ialah bahwa niat atau
keinginan pamer pengetahuan ini benar-benar kita jauhkan dari diri
kita semua. Baik kita yang bekerja sebagai guru, ustadz, atau dosen,
maupun kita yang berfungsi sebagai pembimbing di luar lingkungan
pendidikan formal sebaiknya sama-sama berusaha untuk menjauhkan diri
dari niat dan sikap pamer pengetahuan ini. Hanyalah dengan sikap
membimbing yang ikhlas, sikap membimbing yang sepi dari rasa ingin
dikagumi, akan mungkin bagi guru untuk meningkatkan kegiatan
pelayanannya ke taraf profesionalisme yang paling tinggi: mendidik.
Hanyalah dengan sikap seperti ini akan lahir tindakan mendidik yang
jujur dan lurus, yang tidak membingungkan, tidak menakutkan dan tidak
pula menyesatkan.
Allahummaj'alnaa haadiina muhtadiin, ghaira dlalliinawalaa mudliiiin.
Ya Allah! Jadikanlah kami pemimpin yang terpimpin, bukan yang sesat
dan bukan pula yang menyesatkan.
Nama : M. Daniansyah
Alamat : Jalan Pemuda Kompleks Sumber Kurnia Blok A No.19 RT XI
Kelurahan Selat Dalam Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas 731516
No comments:
Post a Comment