Pages

Friday, February 15, 2013

M. Daniansyah GURU INDONESIA

MENDIDIK, MENGAJAR, DAN PAMER PENGETAHUAN

IDEALNYA setiap guru—dan setiap ustadz dan setiap dosen—tidak hanya

mengajar pada waktu ia berdiri di depan kelas, tetapi juga mendidik.

Jadi di samping membimbing para siswa untuk menguasai sejumlah

pengetahuan dan ketrampilan (mengajar), setogyanya guru juga

membimbing siswa-siswanya mengembangkan segenap potensinya yang ada

dalam diri mereka (mendidik).



Masalahnya ialah bahwa mendidik ternyata tidak semudah mengajar.

Untuk dapat benar-benar mendidik, tidak cukup kalau guru hanya

menguasai bahan pelajaran. Ia harus tahu, nilai-nilai apa yang dapat

disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada para siswa.

Guru harus tahu, sifat-sifat kepribadian apa yang dapat dirangsang

pertumbuhannya melalui materi pelajaran yang akan disajikan. Dapatkah

satu gugus materi pelajaran matematika dipergunakan untuk merangsang

pertumbuhan nilai-nilai kejujuran, ketelitian, dan keuletan kerja pada

diri para siswa? Dan kalau dapat, bagaimana caranya?



Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang dipikirkan oleh setiap guru

yang ingin meningkatkan perbuatan mengajar yang dilakukannya menjadi

perbuatan mendidik. Dan ini bukan suatu hal yang mudah. Inilah

sebabnya, mengapa banyak guru yang tidak selalu berhasil meningkatkan

diri mereka menjadi pendidik. Mereka terpaku dalam melaksanakan aspek

pengajaran dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari. Dan kalau hal

ini terjadi pada sebagian besar guru, maka hasil yang akan diperoleh

ialah siswa-siswa yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup

mantap kepribadiannya. Kalau ini sempat terjadi, maka kita menghadapi

situasi yang cukup gawat.



Ini semua tidak berarti, bahwa pekerjaan itu mudah. Untuk dapat

mengajar dengan baik diperlukan sikap tertentu. Yaitu sikap gemar

mencari pengetahuan baru dan senang berbagi pengetahuan dengan orang

lain. Orang yang mudah merasa puas dengan pengetahuan yang telah

dimilikinya tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik. Begitu juga

orang yang selalu ingin menonjol, selalu ingin lebih tahu dari orang

lain, juga tidak akan dapat menjadi pengajar yang baik.



Di samping masalah sikap ini, diperlukan pula ketrampilan dan

kemampuan tertentu untuk menjadi pengajar yang baik. Antara lain

ketrampilan untuk menyajikan suatu bahan pelajaran secara sistematis,

kemampuan untuk memahami dan menyelami alam pikiran para siswa, dan

kemampuan untuk meramu bahan pelajaran, sehingga tersusun suatu

program pelajaran yang relevan dengan realitas yang terdapat dalam

kehidupan para siswa.



Memupuk sikap, ketrampilan serta kemampuan seperti ini memerlukan

ikhtiar dan waktu. Tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh, akan mudah

sekali bagi seorang guru untuk terjebak dalam perbuatan pamer

pengetahuan ketika mereka berdiri di depan kelas. Guru yang baik pun

dapat sesekali terjatuh dalam kesalahan ini. Ia sibuk di depan kelas,

tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan

pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang

diperlihatkan siswa-siswanya! Menurut pengalaman saya, ini merupakan

suatu hal yang mudah sekali terjadi dalam kehidupan seorang guru.



Selama pamer pengetahuan ini terjadi tanpa sengaja, dan dampak yang

ditimbulkannya adalah kekaguman siswa, saya kira situasinya masih

baik. Tetapi apabila pamer pengetahuan ini sudah merupakan perbuatan

yang disengaja, apabila guru memang sudah menyerah kepada keinginan

untuk memamerkan kehebatan pengetahuannya, maka secara pedagogis yang

kita hadapi ialah suatu situasi yang sangat tidak etis. Yang kita

hadapi dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan

kelemahan-kelemahan para siswa: kekurangan pengetahuan mereka,

keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidakberdayaan mereka

menghadapi guru. Dalam hal ini dampak yang akan timbul bukan

kekaguman, melainkan kebingungan siswa tentang pelajaran yang diterima

dan ketakutan siswa terhadap diri sang guru. Sedihnya ialah bahwa

nampaknya dalam masyarakat kita ada kelompok guru—atau ustadz atau

dosen—yang justeru menikmati ketakutan dan kebingungan para siswa ini.

Ini sungguh suatu sikap yang tidak etis. Menurut pendapat saya yang

terjadi di sini bukan hanya suatu kesalahan pedagogis, melainkan suatu

dosa pedagogis.



Jadi apa yang perlu kita usahakan bersama ialah bahwa niat atau

keinginan pamer pengetahuan ini benar-benar kita jauhkan dari diri

kita semua. Baik kita yang bekerja sebagai guru, ustadz, atau dosen,

maupun kita yang berfungsi sebagai pembimbing di luar lingkungan

pendidikan formal sebaiknya sama-sama berusaha untuk menjauhkan diri

dari niat dan sikap pamer pengetahuan ini. Hanyalah dengan sikap

membimbing yang ikhlas, sikap membimbing yang sepi dari rasa ingin

dikagumi, akan mungkin bagi guru untuk meningkatkan kegiatan

pelayanannya ke taraf profesionalisme yang paling tinggi: mendidik.

Hanyalah dengan sikap seperti ini akan lahir tindakan mendidik yang

jujur dan lurus, yang tidak membingungkan, tidak menakutkan dan tidak

pula menyesatkan.



Allahummaj'alnaa haadiina muhtadiin, ghaira dlalliinawalaa mudliiiin.

Ya Allah! Jadikanlah kami pemimpin yang terpimpin, bukan yang sesat

dan bukan pula yang menyesatkan.





Nama : M. Daniansyah

Alamat : Jalan Pemuda Kompleks Sumber Kurnia Blok A No.19 RT XI

Kelurahan Selat Dalam Kecamatan Selat Kabupaten Kapuas 731516

No comments:

Post a Comment