Oleh
ZIDNATUL MUSARAPAH, S. Pd
Seorang guru yang mengajar karena panggilan jiwa serta memiliki misi untuk mengantarkan anak didiknya kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial, akan bisa mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dan keagamaan yang besar dalam dada setiap muridnya, bahkan sesudah ia mati.
Bagi seorang guru, yang paling menentukan kesungguhan mengajar bukanlah gaji, meski gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dasar memang dapat mengganggu ketenangan dan totalitas mengajar. Sebaliknya, bertambahnya gaji yang tidak diiringi oleh kuatnya komitmen sebagai guru tidak cukup memadai untuk membuat guru mengajar dengan totalitas.
Dalam kesempatan ini, saya berkeinginan untuk mengajak bagaimana seorang guru bisa menikmati hari-harinya mengajar di depan murid dan mengantarkan anak-anak itu kelak menjadi manusia yang mengerti tujuan hidupnya. Saya ingin mengajak para guru agar menjalani kegiatan mengajar lebih dalam lagi, mendidik dengan bekal rasa cinta yng berlimpah. Tanpa rasa itu, mengajar akan terasa kering kerontang, tidak ada yang menggerakkan jiwa. Padahal, bagi saya sendiri, mengajar tanpa keterlibatan emosi yang penuh hanya akan membuatnya cepat tua, hidup tidak bergairah, dan begitu pensiun akan cepat pikun. Tidak punya arah apa yang harus ia lakukan.
Sesungguhnya, surga dan neraka seorang guru ada di sekolah. Hampir seluruh waktu produktifnya yang terbaik ia habiskan di sekolah. Jauh lebih banyak dibandingkan waktu yang ia jalani di rumah, lebih-lebih guru yang mengajar di sekolah-sekolah sehari penuh (full day). Jika mengajar dilakukan tanpa dasar keikhlasan, justru akan membawa penyakit bagi peserta didik, entah pikiran, mental, kepribadian, ataupun imannya. Bila tidak ke anak didik, bisa jadi guru sendiri yang akan terjangkiti penyakit tersebut.
Ada kekhawatiran menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar bergolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul, saat menjumpai realitas bahwa guru lebih banyak memberi hukuman daripada memberi penghargaan kepada siswanya. Ada kegelisahan timbul, saat melihat para siswa berteriak girang begitu tahu gurunya tidak datang hari itu.
Mengapa khawatir, galau, gelisah, gundah? Realitas pertama menunjukkan bahwa pelajar kini sangat dekat dengan dunia kekerasan, yang jelas-jelas bertolak belakang dengan dunia mereka sendiri, yakni dunia pendidikan dan keilmuan. Menurut saya pendidikan adalah sebuah dunia yang terlahir dari rahim kasih sayang. Seorang ibu akan mengasuh dan mendidik anaknya disebabkan naluri kasih sayang yang dimilikinya. Jadi, kekerasan pelajar ini menyisakan sebuah pertanyaan besar: Mengapa dunia kasih sayang kini malah melahirkan kekerasan?
Realitas kedua menunjukkan mulai meredupnya kasih sayang dalam interaksi antara guru dengan siswa. Adanya konflik dan kerenggangan hubungan terasa mengental, saat guru lebih suka menghardik daripada mencoba bersikap empatik. Bila realitas ini dicermati lebih jauh, akan muncul satu pertanyaan besar lagi: Adakah para guru kini sudah beralih fungsi dari merengkuh dan membimbing menjadi menghukum dan menghakimi belaka?
Realitas ketiga menggambarkan adanya perbedaan rasa antara guru dengan siswa. Kedua pihak secara fisik memang selalu berkumpul dan bertemu di ruang kelas di sekolah. Tetapi pada kenyataannya mereka sama-sama tidak berminat bertemu. Lantas, pertemuan itu menjadi beban belaka bagi kedua pihak. Karena terpaksa saja keduanya bisa berkumpul di dalam satu ruang bernama kelas. Jadi, ada satu pertanyaan lagi yang mencuat dari sini: Adakah suasana di sekolah atau keberadaan guru sudah sedemikian membosankan?
Dari beberapa realitas tersebut, dapat saya ambil kesimpulan sederhananya, ketika para guru salah dalam memahami profesinya, maka bergeserlah fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini menyebabkan dua pihak yang tadinya saling membutuhkan, yaitu guru dan siswa, menjadi tidak saling membutuhkan. Bahkan, yang terjadi adalah komunikasi yang tidak nyambung. Ketidaknyambungan ini melahirkan suasana yang membosankan dalam proses belajar mengajar, sehingga sekolah terjauhkan dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul dengan berbagai ukuran berat ringannya, membuat pihak-pihak yang berada di dalamnya gampang frustasi, lantas dengan gampang melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.
Guru sebagai salah satu dari sekian banyak kelompok sosial, sehari-harinya tidak lepas dari interaksi dengan pihak lain. Baik dengan sesama guru, dengan siswa, dengan orang tua siswa, atau dengan kalangan lain yang lebih luas. Guru yang dalam interaksi sosialnya banyak menanam kebaikan pasti akan mendapat balasan kebaikan pula. Sebaliknya, guru yang selalu menanam keburukan seperti berlaku kasar, pemarah, kaku, dan mudah tersinggung, tidak akan mendapatkan hubungan yang harmonis dengan siswanya. Hasilnya, guru yang seperti itu akan menjadi sosok yang kurang simpatik dimata siswanya. Ia hanya akan tampil sebagai sosok yang ditakuti, bukan disegani atau dihormati. Maka nasehat dan pelajaran yang disampaikannya cenderung hanya akan diabaikan siswa.
Guru yang baik adalah guru yang melandaskan interaksinya dengan siswa di atas nilai-nilai cinta. Karena hanya hubungan berlandaskan cintalah yang akan melahirkan keharmonisan. Sikap cinta, kasih, dan sayang tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, serta sikap-sikap positif lainnya.
Sosok guru harus senantiasa memperlihatkan sifat sayang kepada siswanya setiap saat, baik di dalam maupun di luar sekolah. Kasih sayang guru yang selalu ditebar inilah yang akan ditangkap siswa sebagai charisma. Jika seorang guru bersikap penuh kasih, dimata siswa ia akan menjadi sosok yang kharismatik. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa.
Respon balik berupa rasa cinta siswa, biasanya diwujudkan melalui sikap-sikap yang positif. Misalnya kepada Tuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, penghormatan, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang dicintainya. Sikap-sikap seperti inilah yang akan menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan siswa. Siswa akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan. Maka akan muncul gairah untuk berprestasi di dalam jiwa siswa. Sehingga guru yang mengajar pun pada gilirannya akan merasakan bahwa mendidik siswa adalah sesuatu yang ringan dan menyenangkan.
Namun susahnya, ternyata rasa cinta guru juga tidak mudah ditangkap siswa. Ada banyak guru yang berusaha sekuat tenaga untuk bersabar, mencoba memahami, dan mencoba mendekati siswa, namun tidak mendapatkan respon balik yang sebanding. Seolah-olah seperti cinta yang tak terbalas. Kasih sayang yang dia berikan tidak membuat dia ditempatkan sebagai figur kharismatik dimata siswa. Bukan karena apa-apa, tetapi karena siswa tidak berhasil menangkap sinyal kasih sayang yang ditunjukkannya.
Ternyata memang dibutuhkan kiat dan seni tersendiri supaya sinyal cinta guru dapat tertangkap oleh antene siswa. Butuh kreasi dan keterampilan dalam membahasakannya, agar guru mampu tampil menjadi sosok yang penuh kharisma di hadapan siswanya. Sosok guru yang demikian akan selalu dirindukan kedatangannya, diamnya disegani, tutur katanya ditaati, dan kepergiannya ditangisi. Bukan guru yang ketika dia tidak hadir mengajar, para siswanya melompat kegirangan sambil berteriak : “horeeee”. Semoga kita semua termasuk sebagai seorang guru yang penuh kharisma.
Bagi seorang guru, yang paling menentukan kesungguhan mengajar bukanlah gaji, meski gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dasar memang dapat mengganggu ketenangan dan totalitas mengajar. Sebaliknya, bertambahnya gaji yang tidak diiringi oleh kuatnya komitmen sebagai guru tidak cukup memadai untuk membuat guru mengajar dengan totalitas.
Dalam kesempatan ini, saya berkeinginan untuk mengajak bagaimana seorang guru bisa menikmati hari-harinya mengajar di depan murid dan mengantarkan anak-anak itu kelak menjadi manusia yang mengerti tujuan hidupnya. Saya ingin mengajak para guru agar menjalani kegiatan mengajar lebih dalam lagi, mendidik dengan bekal rasa cinta yng berlimpah. Tanpa rasa itu, mengajar akan terasa kering kerontang, tidak ada yang menggerakkan jiwa. Padahal, bagi saya sendiri, mengajar tanpa keterlibatan emosi yang penuh hanya akan membuatnya cepat tua, hidup tidak bergairah, dan begitu pensiun akan cepat pikun. Tidak punya arah apa yang harus ia lakukan.
Sesungguhnya, surga dan neraka seorang guru ada di sekolah. Hampir seluruh waktu produktifnya yang terbaik ia habiskan di sekolah. Jauh lebih banyak dibandingkan waktu yang ia jalani di rumah, lebih-lebih guru yang mengajar di sekolah-sekolah sehari penuh (full day). Jika mengajar dilakukan tanpa dasar keikhlasan, justru akan membawa penyakit bagi peserta didik, entah pikiran, mental, kepribadian, ataupun imannya. Bila tidak ke anak didik, bisa jadi guru sendiri yang akan terjangkiti penyakit tersebut.
Ada kekhawatiran menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar bergolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul, saat menjumpai realitas bahwa guru lebih banyak memberi hukuman daripada memberi penghargaan kepada siswanya. Ada kegelisahan timbul, saat melihat para siswa berteriak girang begitu tahu gurunya tidak datang hari itu.
Mengapa khawatir, galau, gelisah, gundah? Realitas pertama menunjukkan bahwa pelajar kini sangat dekat dengan dunia kekerasan, yang jelas-jelas bertolak belakang dengan dunia mereka sendiri, yakni dunia pendidikan dan keilmuan. Menurut saya pendidikan adalah sebuah dunia yang terlahir dari rahim kasih sayang. Seorang ibu akan mengasuh dan mendidik anaknya disebabkan naluri kasih sayang yang dimilikinya. Jadi, kekerasan pelajar ini menyisakan sebuah pertanyaan besar: Mengapa dunia kasih sayang kini malah melahirkan kekerasan?
Realitas kedua menunjukkan mulai meredupnya kasih sayang dalam interaksi antara guru dengan siswa. Adanya konflik dan kerenggangan hubungan terasa mengental, saat guru lebih suka menghardik daripada mencoba bersikap empatik. Bila realitas ini dicermati lebih jauh, akan muncul satu pertanyaan besar lagi: Adakah para guru kini sudah beralih fungsi dari merengkuh dan membimbing menjadi menghukum dan menghakimi belaka?
Realitas ketiga menggambarkan adanya perbedaan rasa antara guru dengan siswa. Kedua pihak secara fisik memang selalu berkumpul dan bertemu di ruang kelas di sekolah. Tetapi pada kenyataannya mereka sama-sama tidak berminat bertemu. Lantas, pertemuan itu menjadi beban belaka bagi kedua pihak. Karena terpaksa saja keduanya bisa berkumpul di dalam satu ruang bernama kelas. Jadi, ada satu pertanyaan lagi yang mencuat dari sini: Adakah suasana di sekolah atau keberadaan guru sudah sedemikian membosankan?
Dari beberapa realitas tersebut, dapat saya ambil kesimpulan sederhananya, ketika para guru salah dalam memahami profesinya, maka bergeserlah fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini menyebabkan dua pihak yang tadinya saling membutuhkan, yaitu guru dan siswa, menjadi tidak saling membutuhkan. Bahkan, yang terjadi adalah komunikasi yang tidak nyambung. Ketidaknyambungan ini melahirkan suasana yang membosankan dalam proses belajar mengajar, sehingga sekolah terjauhkan dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul dengan berbagai ukuran berat ringannya, membuat pihak-pihak yang berada di dalamnya gampang frustasi, lantas dengan gampang melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar.
Guru sebagai salah satu dari sekian banyak kelompok sosial, sehari-harinya tidak lepas dari interaksi dengan pihak lain. Baik dengan sesama guru, dengan siswa, dengan orang tua siswa, atau dengan kalangan lain yang lebih luas. Guru yang dalam interaksi sosialnya banyak menanam kebaikan pasti akan mendapat balasan kebaikan pula. Sebaliknya, guru yang selalu menanam keburukan seperti berlaku kasar, pemarah, kaku, dan mudah tersinggung, tidak akan mendapatkan hubungan yang harmonis dengan siswanya. Hasilnya, guru yang seperti itu akan menjadi sosok yang kurang simpatik dimata siswanya. Ia hanya akan tampil sebagai sosok yang ditakuti, bukan disegani atau dihormati. Maka nasehat dan pelajaran yang disampaikannya cenderung hanya akan diabaikan siswa.
Guru yang baik adalah guru yang melandaskan interaksinya dengan siswa di atas nilai-nilai cinta. Karena hanya hubungan berlandaskan cintalah yang akan melahirkan keharmonisan. Sikap cinta, kasih, dan sayang tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, serta sikap-sikap positif lainnya.
Sosok guru harus senantiasa memperlihatkan sifat sayang kepada siswanya setiap saat, baik di dalam maupun di luar sekolah. Kasih sayang guru yang selalu ditebar inilah yang akan ditangkap siswa sebagai charisma. Jika seorang guru bersikap penuh kasih, dimata siswa ia akan menjadi sosok yang kharismatik. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa.
Respon balik berupa rasa cinta siswa, biasanya diwujudkan melalui sikap-sikap yang positif. Misalnya kepada Tuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, penghormatan, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang dicintainya. Sikap-sikap seperti inilah yang akan menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan siswa. Siswa akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan. Maka akan muncul gairah untuk berprestasi di dalam jiwa siswa. Sehingga guru yang mengajar pun pada gilirannya akan merasakan bahwa mendidik siswa adalah sesuatu yang ringan dan menyenangkan.
Namun susahnya, ternyata rasa cinta guru juga tidak mudah ditangkap siswa. Ada banyak guru yang berusaha sekuat tenaga untuk bersabar, mencoba memahami, dan mencoba mendekati siswa, namun tidak mendapatkan respon balik yang sebanding. Seolah-olah seperti cinta yang tak terbalas. Kasih sayang yang dia berikan tidak membuat dia ditempatkan sebagai figur kharismatik dimata siswa. Bukan karena apa-apa, tetapi karena siswa tidak berhasil menangkap sinyal kasih sayang yang ditunjukkannya.
Ternyata memang dibutuhkan kiat dan seni tersendiri supaya sinyal cinta guru dapat tertangkap oleh antene siswa. Butuh kreasi dan keterampilan dalam membahasakannya, agar guru mampu tampil menjadi sosok yang penuh kharisma di hadapan siswanya. Sosok guru yang demikian akan selalu dirindukan kedatangannya, diamnya disegani, tutur katanya ditaati, dan kepergiannya ditangisi. Bukan guru yang ketika dia tidak hadir mengajar, para siswanya melompat kegirangan sambil berteriak : “horeeee”. Semoga kita semua termasuk sebagai seorang guru yang penuh kharisma.
BIODATA PENULIS
NAMA : ZIDNATUL MUSARAPAH, S. Pd
NIP : 19860613 201001 2 041
ALAMAT : JL. MAWAR NO.2A RT.20A MUARA TEWEH 73811
TTL : MUARA TEWEH, 13 JUNI 1986
AGAMA : ISLAM
PEKERJAAN : GURU BIDANG STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIT KERJA : SMPN-2 MUARA TEWEH
NO. TELPON : (0519) 22466 / 085249300865
EMAIL : mzidnatul@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment