DINASTI FATHIMIYAH DI MESIR
Syi'ah bertoleransi dengan Sunni dan Non Muslim
Oleh : Sawiyanto, MA
Kepala MTs/MAS YP. H. Datuk Abdullah Tanjung Morawa
A. PENDAHULUAN
Pada masa dinasti Abbasiyah terjadi disintegrasi yang kursial,
terutama setelah para khafilah menjadi boneka di dalam tangan tentara
pengawal. Konsekuensinya, daerah-daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan di Baghdad., melepaskan diri dari kekuasaan khalifah,
sehingga pada gilirannya muncullah dinasti-dinasti kecil yang berdiri
sendiri.
Di Maroko, Idris ibn Abdullah, dapat membentuk kerajaan Idrisi yang
bertahan dari tahun 788 M sampai dengan tahun 974 M. Di Tunis muncul
pula dinasti Aghlabi yang didirikan oleh Ibrahim ibn Aghlab.
Sedangkan di Mesir Ahmad ibn Thulun melepaskan diri dari Baghdad dan
mendirikan dinasti Thuluniyah. Dalam menjalankan pemerintahannya,
Ahmad ibn Thulun telah berhasil mengukir prestasi yang mengagumkan.
Wilayah ekspansinya bertambah luas hingga mencapai Suriah,
perekonomiannya meningkat. Irigasi, rumah sakit dan masjid dibangun
dengan megah. Semua prestasinya ini telah membawa Mesir salah satu
sentral kebudayaan Islam yang termasyhur. Pada tahun 935 M Mesir jatuh
ke tangan dinasti Ikhsyid, dan pada tahun 969 M dinasti ini berhasil
ditaklukkan oleh khilafah Fathimiyah.
Eksisinya khilafah Fathimiyah secara nominal berbeda dengan
dinasti-dinasti kecil yang muncul pada waktu itu. Perbedaannya
terletak pada keloyalitasannya. Kalau dinasti-dinasti kecil itu masih
mengakui khalifah-khalifah di Baghdad sebagai pemimpin mereka,
sedangkan khilafah Fathimiyah yang beraliran Syi'ah ini merupakan
saingan sekaligus tandingan bagi khilafah aliran Sunni di Baghdad.
Dalam menggulirkan pemerintahannya, agaknya khilafah Fathimiyah
mengalami dua fase penting yaitu fase kemajuan dan fase kemunduran
yang berujung pada kehancuran.
Untuk itulah, maka fokus pembahasan dalam makalah ini meliputi:
pembentukkan khilafah Fathimiyah di Mesir, kemajuan dan kemunduran
khilafah Fathimiyah.
B. PEMBENTUKAN DAN KEMAJUAN KHILAFAH FATHIMIYAH DI MESIR
Dalam perjalanan sejarah Syi'ah, perbedaan muncul atas masalah suksesi
Imam. Setelah meninggalnya Imam Ja'far Sadiq, aliran Syi'ah ini
terpecah ke dalam dua kelompok yaitu kelompok Syi'ah Itsna Asy'ariyah
dan Syi'ah Isma'illiyah.
Kelompok Syi'ah Ismailliyah berpendapat bahwa Isma'il bin Ja'far
Sadiqlah yang berhak dan berperan sebagai Imam yang ketujuh untuk
menggantikan kedudukan ayah mereka, bukan Musa al-Kazim. Adanya faham
yang melegitimasi kepemimpinan Isma'il ini, ternyata mampu melahirkan
suatu gerakan politik keagamaan yang teroganisir. Gerakan ini pada
ujungnya termanifestasi dalam suatu pembentukkan pemerintahan Syi'ah
Fathimiyah yang ekslusif.
Gerakan Syi'ah Fathimiyah dalam melancarkan dakwahnya telah
mengaplikasikan doktrin messianik atau menes dan sentralitas
organisasi penopangnya. Walaupun Syi'ah Fathimiyah menganggap bahwa
Isma'il tidak berperan secara independen, disebabkan kematiannya
terlebih dahulu dari ayahnya, Imam Ja'far Sadiq, namun hal ini tidak
menghalangi tumbuh dan berkembangnya para pendukung keturunan Isma'il.
Secara aktif dakwah yang dilancarkan Syi'ah Fathimiyah dalam
menyebarkan doktrinnya di mulai oleh Abu Ubaidillah al-Husain.
Doktrin yang dipopulerkannya adalah berhaknya Ubaidillah atas posisi
"penyelamat" (al-Mahdi). Sasaran penyebaran doktrin ini meliputi:
Yaman, bahrain, Sind, India, Mesir dan Afrika Utara. Penyebaran
doktrin yang dilakukan oleh para Da'I ini ternyata sangat efektif,
karena pemanfaatan sistem fan jaringan para Da'i terorganisir dengan
rapi.
Pada tahun 228 sesudah hijriah, Abu Abdullah melancarkan dakwahnya ke
daerah Afrika. Sifatnya yang baik dan keramah tamahnya, mengundang
rasa simpatik masyarakat yang dikunjunginya, sehingga hal ini
melicinkan jalan bagi misi dakwahnya dan sekaligus memperoleh dukungan
yang luas, terutama di daerah-daerah yang kurang mendapat perhatian
dinasti Abbasyiah.
Melalui para Da'i seperti Ali ibn Fadhil al-Yamani dan ibn llawsyab
al-Kuli, Yaman beserta ibu kotanya dapat direbut. Dengan dikuasainya
Yaman, maka kemampuan dakwah Fathimiyah semakin tangguh. Ini terbukti
dengan dikirimnya para Da'i ke berbagai penjuru dunia, seperti ke
Arabia, India dan Afrika Utara.
Di Afrika Utara, Sa'id ibn Husain telah berhasil menaklukkanibu kota
dinasti Aghlabiyah (Tunis) pada tahun 909 M dan secara otomatis
tamatlah riwayat dinasti Aghlabiyah. Selanjutnya Sa'id
memproklamirkan Imam Ubaidillah al-Mahdi sebagai khilafah Fathimiyah
pertama di Afrika Utara. Proklamasi ini menandai fase pembukaan dari
upaya pengikut Isma'illiyahuntuk member bentuk nyata bagi visi mereka
tentang masyarakat Islam.
Pada masa pemerintahan Ubaidillah al-Mahdi, wilayah kekuasaannya sudah
semakin luas yang meliputi Maroko, Mesir, Malta, Alexandria,
Sardania,Corsica dan Balerick. Estafet kepemimpinan setelah al-Mahdi
dilanjutkan oleh anaknya, al-Qa'im dalam mengendalikan pemerintahannya
mengikuti policy yang pernah di terapkan oleh ayahnya. Sedangkan anak
al-Qaim yaitu al-Mansur adalah seorang pemuda yang energik. Ini
terbukti dengan keberhasilannya dalam menumpas pemberontakan Abu
Yazid.
Setelah meninggalnya Al-Mansur, tampuk pemerintahan diteruskan oleh
anaknya Mu'iz. Langkah pertama yang dilakukannya adalah menciptakan
kestabilan dan perdamaian. Kemudian ia membenahi struktur
pemerintahannya, dengan cara meningkatkan kualitas para gubernur dan
pada pemimpin. Untuk itu ia memberikan hadiah kepada para gubernur dan
para pemimpin yang berprestasi dan mempunyai loyalitas yang tinggi.
Pada tahun 969 M, al-Mu-iz mengutus jendralnya, Jauhar, bersama dengan
prajurit yang terlatih untuk menghadang ekspansi ke Mesir. Tanpa
perlawanan yang berarti, akhirnya mesir dan ibu kotanya, Fustat dapat
dikuasai. Dengan dikuasainya mesir, maka berakhirlah masa
pemerintahan Dinasti Ikhsyid disana. Tidak berapa lama berselang,
Jauhar berhasil membangun sebuah kota baru yang disebut Qohirah. Kota
al-Qohirah inilah yang menjadi ibu kota khilafah Fatimiyah di Mesir
pada tahun 973. Sejak saat ini terbentuklah khifalah Fatimiyah di
Mesir dan sekaligus menandai dimulainya pelaksanaan aktivitas
pemerintahan ini.
Masa kegemilangan khilafah Fathimiyah di tandai dengan berpindahnya
pusat pemerintahan ke kairo pada tahun 1973. Dengan berpindahnya ibu
kota tersebut telah menawarkan prospek baru bagi kemajuan khilafah
ini. Indikasi-indikasi kemajuan yang terjadi masa khilfah Fathimiyah
di Mesir dapat diamati dalam beberapa bidang antara lain: bidang
politik, ilmu pengetahuan, ekonomi, administrasi, militer, seni dan
arsitektur.
1. Politik
Kemajuan khilafah Fathimiyah di bidang politik antara lain terlihat
dari ekspansi wilayah yang dilakukannya. Pada masa khilafah ini
ekspansi ayau perluasan wilayahnya telah meliputi seluruh Syiria,
sebagian Mesopotamia, perbatasan sungai Efrat, Hijaz, Yaman, dan
Aleppo.
Untuk memperkokoh kedudukan pemerintahannya, khilafah Fathimiyah
menjalin hubungan yang baik dengan Byzantium dan juga dengan
mengirimkan para Dainya ke beberapa daerah antara lain seperti daerah
Sind dan Yaman. Upaya menjalin hubungan baik antara bangsa dengan
pengiriman Da'i tersebut sangat esensial sekali untuk menjaga
intergitaas wilayah, menciptakan suasana perdamaian dan sekaligus akan
membawa kemajuan khilafah ini.
2. Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sebab tanpa
ilmu pengetahuan manusia tidak akan mampu mengolah alam ciptaan Allah
SWT secara baik dan bahkan akan menjadi umat yang tertinggal dan
terbelakang.
Pada masa kekhilafahan Fathimiyah, antusias masyarakat maupun
pemerintahan terhadap ilmu pengetahuan cukup tinggi. Ini terbukti
dengan diberikannya bea siswa bagi orang-orang yang menuntut ilmu
pengetahuan oleh khilafah dan dibangunnya pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan seperti: Dar al-Hikmah atau Dar al-llm, dan universitas
al-Azhar. Di universitas ini diajarkan berbagai ilmu pengetahuan
antara lain: ilmu optic, kedokteran, fiqih, tauhid, nahwu, bahasa
Arab, bayan, mantiq, matematika, dan lain-lain.
Di samping itu para khalifah juga membangun gedung-gedung perpustakaan
yang lengkap sehingga dengan di bangunnya sarana-sarana untuk menuntut
ilmu pengetahuan dan adanya semangat yang tingi untuk mengkaji ilmu
pengetahuan tersebut, maka bermunculanlah fakar-fakar dalam berbagai
disiplin ilmu.
Fakar-fakar dalam bidang ilmu pengetahuan yang muncul pada masa
khilafah Fathimiyah di Mesir antara lain, seperti al-Kindi, Ali
al-Hasan ibn Haitham, Qais dan Ali ibn Yunus. Dengan munculnya para
pakar tersebut sangat diperlukan bagi khilafah Fathimiyah dalam
mencapai kemajuan dan kemakmurannya.
3. Ekonomi
Perekonomian merupakan salah satu unsure yang sangat penting dalam
memperlancar proses pembangunan suatu Negara, yang berujung kepada
kemajuan dan kemakmurannya. Sebab merosotnya perekonomian suatu Negara
akan dapat menghambat lajunya proses pembangunan yang akan
dilaksanakan.
Pada masa pemerintahan Fathimiyah di Mesir menunjukkan adanya kemajuan
dalam bidang perekonomian, bahakn kemajuan dan kemakmuran di bidang
tersebut, menurut C.E Bostworth melebihi Irak kontemporer.
Indikasi-indikasi kemajuan dalam bidang ekonomi pada masa khilafah
Fatimiah antara lain : masjid-masjid, universutas-universitas, rumah
sakit-rumah sakit, dan penginapan-penginapan dibangun dengan megah,
jalan-jalan utama dilengkapi dengan lampu-lampu yang gemerlapan. Dalam
bidang perindustrian pada masa ini juga telah mencapai kemajuan
terutama sekali yang berhubungan dengan kemiliteran seperti :
alat-alat perang, kapal dan sebagainya.
4. Administrasi dan Militer
Secara umum pelaksanaan administrasi khilafah Fatimiah merujuk kepada
administrasi yang dikembangkan dinasti Abbasiyah. Meskipun dalam
beberapa departemen terdapat perbedaan nama. Kementrian Negara pada
khilafah ini dibagi kedua kelas yaitu kelas men of the sword dan kelas
men of the pen. Kelas men of the sword terdiri dari pengawas militer,
departemen pertahanan dan keamanan dan pejabat tinggi lainnya.
Sedangkan kelas men of the pen terdiri dari pemimpin percetakan,
pemimpin lembaga sains, pengawas pasar dan super market, bendaharawan
negara. Kelas yang paling rendah kedudukannya dari men of the pen
adalah para pembantu yang terdiri dari pegawai sekretaris suatu
departemen.
5. Arsitektur dan Seni
Para khalifah Fatimiah di Mesir sangat menyukai seni dan arsitektur.
Ini terbukti dengan banyaknya bangunan dan gedung-gedung yang
mempunyai nilai seni dan arsitektur yang tinggi. Diantara
bangunan-bangunan yang mempunyai nilai seni dan arsitektur yang tinggi
tersebut antara lain adalah masjid. Masjid yang termasyur pada masa
khilafah Fathimiyah di Mesir antara lain: masjid al-Azhar, masjid
al-Hakim bin Amriyah, masjid al-Qamar, masjid al-Shaleh thale.
Di samping itu terdapat lagi gedung-gedung yang terkenal, seperti
gedung emas, gedung pembuat mata uang, gedung perpustakaan, dan Dar
al-ilm semua gedung-gedung itu dibangun dengan megah sekali, yang
nilai seni dan arsitekturnya tidak kalah dengan arsitek Romawi ataupun
Bizantium.
Terjadinya kemajuan di dalam tubuh khilafah Fathimiyah di Mesir adalah
merupakan hasil kerja sama yang baik antara para khalifah dengan
rakyat dalam upaya untuk mewujudkan kemajuan dan kemakmuran.
C. FASE KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN
Fase kemunduran khilafah Fathimiyah berawal dari adanya konflik dengan
Yunani mengenai masalah Suriah. Pada saat yang sama muncul pula suatu
aksi Salib yang akan mengancam dan bahkan ingin menghancurkan Islam.
Di sisi lain dalam tubuh kekhilafahan Fathimiyah sudah mulai terjadi
perpecahan yang mengakibatkan para khalifah pada waktu itu kehilangan
banyak kekuasaan, sedangkan wazirnya memegang kekuasaan eksekutif dan
militer.
Pada masa al-Azis ketidak stabilan dalam pemerintahan sudah mulai
terlihat. Artinya ia lebih mengutamakan orang-orang non Islam
ketimbang 0rang-orang muslim. Bahkan ia menempatkankan orang-orang non
Muslim pada posisi penting dalam pemerintahan. Sikap seperti ini akan
menimbulkan adanya kecemburuan social yang pada gilirannya akan memicu
kepada situasi anarkis dalam pemerintahannya.
Setelah periode pemerintahan al-Azis, muncul pula suatu gerakan
religious Syi'i yang ekstrim yaitu Druze di Suriah selatan dan
Lebanon. Gerakan ini menganggap al-Hakim sebagai titisan Tuhan.
Perpecahan yang lebih serius dalam tubuh khilafah Fathimiyah di Mesir,
terjadi setelah meninggalnya al-Mustansir, sebab setelah meninggalnya
al-Mustansir, gerakan Isma'illiyah terpecah menjadi dua kelompok yaitu
Nizar dan al –Musta'li. Kondisi perpecahan ini sedikit banyaknya akan
berpengaruh terhadap kestabilan pemerintahan khilafah ini. Ditambah
lagi dengan terjadinya bencana kelaparan yang sangat memprihatinkan.
Hal ini terbukti dengan terjadinya disintegrasi pada masa itu. Kota
Tripoli menjadi Negara kota yang independen. Libanon menuntut wilayah
otonom sendiri. Bahkan Syiria berhasil direbut dinasti Saljuk pada
tahun 1079, sehingga Syiria pada waktu itu terbagi atas dua kekuatan
Saljuk yaitu di Aleppo dan Damaskus. Sementara itu di Aleppo nur
al-Din mengadakan perjanjian dengan Bizantium dan ia ingin menaklukkan
beberapa wilayah termasuk Mesir untuk menaklukan wilayah itu. Karena
suasana anarkis telah melanda khalifah Fathimiyah, maka akhirnya pada
tahun 1171 Shirkuh dan Salah al-Din dengan mudah dapat menaklukan
sekaligus mengahancurkan khilafah Fathimiyah yang sudah sempoyongan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor penyebab kemunduran
khifalah Fatimiah di Mesir antara lain adalah (1) terjadinya
disintegrasi wilayah; (2) munculnya aksi tentara salib; (3) kemunduran
otoritas kekhalifahan; (4) terjadinya pemberontakan; (5) bencana
kelaparan; (6) sikap pilih kasih khalifah; (7) konflik keluarga; (8)
merekrut orang negro dan orang turki sebagai tentara dan; (9) serangan
yang dilancarkan oleh salah al-Din beserta tentaranya yang menyebabkan
hancurnya khalifah Fatimiyah.
D. KESIMPULAN
Menyimak uaraian diatas, ternyata masa kegemilangan khilafah
Fatimiyahditandai dengan perpindahan ibu kota ke Kairo tahun 973.
Dengan bepindahnya ibu kota khilafah ini telah menawarkan prospek baru
bagi kemajuannya.
Indikasi-indikasi kemajuan khilafah Fatimiyah dapat dilihat dari
beberapa bidang antara lain; bidang politik, ilmu pengetahuan,
ekonomi, administrasi, militer, arsitektur, dan seni. Kemajuan yang
dicapai dalam berbagai bidang kehidupan merupakan hasil kerja sama
antara khalifah dengan masyarakat.
Sebaliknya, fase kemunduran dari suati dinasti atau khilafah yang
berujung pada kehancuran khilafah itu adalah merupakan suatu gejala
alamiah yang terjadi dalam sejarah. Hal ini terjadi juga terhadap
khilafah Fatimiyah di Mesir, yang mencapai klimaksnya setelah
ditakhlukkan oleh salah al-Din pada tahun 1171.
DAFTAR PUSTAKA
Al Hafni, Abdul Mun'im, Ensiklopedia, Golongan, Kelompok, Aliran,
Mazhab, Partai dan Gerakan Islam, Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate,
Grafindo Khazanah Ilmu, 2006.
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan As-Suyuthi, Imam Jalaluddin,
Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzuul Jilid 1, Penerjemah
Bahrun Abubakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996.
Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Islam 4, Cet. 10, Jakarta : PT. Ikhtiar
Baru Van Hove, 2002.
Azra, Azyumardi, Ensiklopedi Islam 2, Cet 11 (Jakarta : PT. Ikhtiar
Baru Van Hove, 2003 ) h. 338.
_______ Ensiklopedi Islam 3, Cet. 11, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hove, 2003.
Kiswati, Tsuroya, Al Juwani, Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam
Islam, Jakarta, Erlangga, 2005.
Muhammad bin Abdul Karim, Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal (Buku
I), terjemahan oleh Asy Wadie Syukur, LC, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
2006.
Nama : SAWIYANTO, MA
Alamat : TANJUNG MORAWA-DELI SERDANG-SUMUT
No comments:
Post a Comment