MENTAL KAMUFLASE YANG MENGKULTURAL
Di banyak sendi kehidupan kita, di banyak bidang dan dimensi kita
bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang kita cintai ini, kita
banyak melihat sosok yang bermuka dua. Artinya, sepak terjangnya
selalu paradok dengan suara hati. Dia berobsesi ingin master terhadap
segala sesuatu, sedangkan pada iklim yang abstrak hatinya mengatakan
" jangan ".
Mensinyalir hal di atas akhirnya melambungkan mental yang kamuflase.
Segala kiat kerja berdasarkan hal riya' atau "harus" mendapatkan nilai
raport bagus dari atasan demi kelangsungan kariernya. Dia dalam
situasi ini sebenarnya memahami segala apa yang telah sedang diadakan
secara intensif, pun orang lain kadang bahkan banyak mengetahui
terhadapnya. Namun mereka mayoritas hanya mengangkat tangan. Relevansi
antara etos kerja dengan obyek utamanya menjadi tidak seimbang. Hal
ini disebabkan dia berenergi tanpa adanya monitor pada sekelilingnya,
kendati dia sendiri sebenarnya bisa, namun secara natural dia akan
tetap hanyut dalam fenomena sampai dia nantinya tiba pada titik
kulminasi. Sebab lain dia terlalu memaksakan haknya tanpa diimbangi
dengan usaha yang seharusnya telah ada.
Realitas dari manifestasi semuanya, akhirnya di akan mencari seteliti
mungkin segala celah oportunitas untuk direalisasikannya dengan sikap
lahiriyah (kadang–kadang maknawiyah juga) untuk menjadi yang terbaik,
sebaik mungkin. Secara makro masalah ini terdapat hampir di setiap
keadaan dan tempat. Keadaan di sini meliputi semua sektor kehidupan
masyarakat luas. Sedangkan untuk tempat, hampir di setiap kumpulan
masyarakat. Namun perlu dicacat bahwa dia masih dipayungi mental
kamuflase.
Menyikapi problema ini, maka diperlukan suatu solusi yang tegas dan
bertanggung jawab. Adapun solusi itu misalnya :
1. Diperlukan tindakan untuk mengingatkan posisinya.
Biasanya diperlukan sosok yang sedang terinjeksi penyakit ini, nalar
pikirannya tidak sampai pada pikiran jangka panjang. Akhirnya yang
timbul adalah pikiran lateralisasi negatif. Dia akan memaksimalkan
usaha untuk terus berkontinu dalam kamuflaseisme. Dia juga biasanya
sadar telah mengetahui last result (akhir dari rangkaian
kegiatan–kegiatan) yang selama ini telah diadakan secara sengaja dan
over acting. Yang punya hak mengungatkan adalah atasan langsung. Kalau
dia seorang atasan, maka atasan yang lebih tinggi lagi secara
struktural yang mengingatkannya.
2. Membiarkan dia terus larut sampai pada titik kulminasi.
Ini merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan banyak tenaga
untuk menyadarkan, juga tidak menimbulkan take offense (perasaan
tersinggung). Namun imbas negatifnya bisa dirasakan pada orang-orang
di sekelilingnya.
3. Menyatire secara halus.
Usaha ini memungkinkan untuk menimbulkan dua keadaan, yaitu antara
lain dia akan merasa malu dan biasanya dia menyerah sadar lalu
berhenti sampai di situ. Juga berubah sikap mental dari kamuflaseisme
menjadi sikap obyektif dan jujur.
4. Tersinggung dan terus berjalan.
Dari beberapa solusi tersebut kita dapat memilih salah satu agar
sikap kamuflase yang semakin mengakar di masyarakat akan terhapus
sedikit demi sedikit dan bahkan akan mengemukakan figur yang
dedukatif, berkaliber santun, profesional, dan juga senior.
S.W. Anwar, Gresik, ditulis tahun 1993
Nama : S.W. Anwar
Alamat : Menganti Gresik Jatim
No comments:
Post a Comment