Pages

Wednesday, February 13, 2013

S.W. Anwar GURU INDONESIA

MENTAL KAMUFLASE YANG MENGKULTURAL



Di banyak sendi kehidupan kita, di banyak bidang dan dimensi kita

bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang kita cintai ini, kita

banyak melihat sosok yang bermuka dua. Artinya, sepak terjangnya

selalu paradok dengan suara hati. Dia berobsesi ingin master terhadap

segala sesuatu, sedangkan pada iklim yang abstrak hatinya mengatakan

" jangan ".

Mensinyalir hal di atas akhirnya melambungkan mental yang kamuflase.

Segala kiat kerja berdasarkan hal riya' atau "harus" mendapatkan nilai

raport bagus dari atasan demi kelangsungan kariernya. Dia dalam

situasi ini sebenarnya memahami segala apa yang telah sedang diadakan

secara intensif, pun orang lain kadang bahkan banyak mengetahui

terhadapnya. Namun mereka mayoritas hanya mengangkat tangan. Relevansi

antara etos kerja dengan obyek utamanya menjadi tidak seimbang. Hal

ini disebabkan dia berenergi tanpa adanya monitor pada sekelilingnya,

kendati dia sendiri sebenarnya bisa, namun secara natural dia akan

tetap hanyut dalam fenomena sampai dia nantinya tiba pada titik

kulminasi. Sebab lain dia terlalu memaksakan haknya tanpa diimbangi

dengan usaha yang seharusnya telah ada.

Realitas dari manifestasi semuanya, akhirnya di akan mencari seteliti

mungkin segala celah oportunitas untuk direalisasikannya dengan sikap

lahiriyah (kadang–kadang maknawiyah juga) untuk menjadi yang terbaik,

sebaik mungkin. Secara makro masalah ini terdapat hampir di setiap

keadaan dan tempat. Keadaan di sini meliputi semua sektor kehidupan

masyarakat luas. Sedangkan untuk tempat, hampir di setiap kumpulan

masyarakat. Namun perlu dicacat bahwa dia masih dipayungi mental

kamuflase.

Menyikapi problema ini, maka diperlukan suatu solusi yang tegas dan

bertanggung jawab. Adapun solusi itu misalnya :



1. Diperlukan tindakan untuk mengingatkan posisinya.

Biasanya diperlukan sosok yang sedang terinjeksi penyakit ini, nalar

pikirannya tidak sampai pada pikiran jangka panjang. Akhirnya yang

timbul adalah pikiran lateralisasi negatif. Dia akan memaksimalkan

usaha untuk terus berkontinu dalam kamuflaseisme. Dia juga biasanya

sadar telah mengetahui last result (akhir dari rangkaian

kegiatan–kegiatan) yang selama ini telah diadakan secara sengaja dan

over acting. Yang punya hak mengungatkan adalah atasan langsung. Kalau

dia seorang atasan, maka atasan yang lebih tinggi lagi secara

struktural yang mengingatkannya.



2. Membiarkan dia terus larut sampai pada titik kulminasi.

Ini merupakan salah satu usaha yang tidak memerlukan banyak tenaga

untuk menyadarkan, juga tidak menimbulkan take offense (perasaan

tersinggung). Namun imbas negatifnya bisa dirasakan pada orang-orang

di sekelilingnya.



3. Menyatire secara halus.

Usaha ini memungkinkan untuk menimbulkan dua keadaan, yaitu antara

lain dia akan merasa malu dan biasanya dia menyerah sadar lalu

berhenti sampai di situ. Juga berubah sikap mental dari kamuflaseisme

menjadi sikap obyektif dan jujur.



4. Tersinggung dan terus berjalan.

Dari beberapa solusi tersebut kita dapat memilih salah satu agar

sikap kamuflase yang semakin mengakar di masyarakat akan terhapus

sedikit demi sedikit dan bahkan akan mengemukakan figur yang

dedukatif, berkaliber santun, profesional, dan juga senior.











S.W. Anwar, Gresik, ditulis tahun 1993





Nama : S.W. Anwar

Alamat : Menganti Gresik Jatim

No comments:

Post a Comment