Pages

Tuesday, February 12, 2013

Refleksi Pembelajaran “Dari yang Membelenggu ke Pembebas Individu”


Oleh : Amin Wibowo
Guru SMPN 22 Semarang
 
 

Pendahuluan
    Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah menuntut para guru untuk kreatif dalam menyusun kurikulum pembelajaran. Penerapan KTSP bermaksud agar potensi dan keanekaragaman daerah dapat terakomodir dalam kurikulum persekolahan.
    Untuk itu, seorang guru profesional tidak hanya dituntut memiliki kemampuan intelektual tinggi, namun lebih penting adalah memiliki daya kreativitas tinggi. Tanpa kreativitas pembelajaran akan kering, tidak berkualitas dan membosankan.
    Harus diakui bahwa kreatifitas guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan. Walaupun fasilitas pendidikan lengkap dan canggih, bila tidak ditunjang oleh keberadaan guru yang kreatif, maka mustahil akan menimbulkan proses pembelajaran yang maksimal. Mengingat fasilitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan, maka kreativitas patut dijadikan sebagai syarat bagi para calon guru. Apalagi bagi guru-guru yang akan ditempatkan di daerah-daerah pelosok sampai ke pedalaman. Guru tanpa kreativitas akan terbelenggu pada rutinitas yang menjemukan dan berdampak kepada rendahnya kualitas pengajaran.  

Refleksi

Proses Pembelajaran yang Membelenggu
 Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yakni pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa pendidikan bisa juga “berbahaya” bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika diadakan evaluasi, memang terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membahayakan masa depan siswa. Sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah adalah salah satu contohnya.
Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “itu salah mas. Saya heran gitu saja nggak bisa”. Kasus ini adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar ternyata sulit. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi risiko sedikit demi sedikit, daripada merasa malu dan dipermalukan di hadapan banyak temannya. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu. Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani misalnya ketika disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dinding-dinding penjara.
 Model pembelajaran berikutnya  yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah pendidikan ”gaya bank”. Model ini ibarat sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penbungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak  murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya. 
Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan bukan pemahaman isi, tetapi sekedar hafal (memori). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa telah melakukannya berarti siswa telah memenuhi kewajibannya. Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif.           
Pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Peran yang kontras itu bisa dikembangkan menjadi sebagai berikut.
- guru mengajar, murid diajar
- guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
- guru berfikir, murid dipikirkan
- guru bercerita, murid patuh mendengarkan
- guru menentukan peraturan, murid diatur
- guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya
- guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
- guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu
- guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, untuk menghalangi kebebasan murid
- guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka

Pengajaran model demikian ini memposisiskan guru sebagai pihak yang ”menang” sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikotomi yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses pertandingan sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati.
Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru penindas tersebut selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.


Guru Bosan Mengajar
Indikator kebosanan guru dapat dilihat dari keabsenan guru-guru dalam waktu mengajar sekolah disertai alasan, berpura-pura dengan alasan, yang sesungguhnya adalah terserang oleh rasa bosan selama proses pembelajaran. Kebosanan guru sering terekspresi dalam bentuk kelesuan setiap kali harus menunaikan kewajiban dalam proses pembelajaran. Meskipun bel tanda masuk telah berbunyi beberapa menit namun masih banyak guru-guru yang ingin menyelesaikan gosip-gosip ringan sesama guru. Malah ada sebagian guru yang sengaja hilir-mudik atau berpura kasak-kusuk dalam mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sampai akhirnya selalu terlambat tiba di kelas dan kemudian sengaja pula agak cepat untuk meninggalkan kelas.
Kebosanan dalam PBM bisa disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari guru dan faktor yang berasal dari murid. Pengabaian kedua faktor ini akan menyebabkan masalah dalam PBM tidak teratasi. Untuk memuluskan PBM maka kedua faktor ini harus dipahami dan diatasi.
Penyebab guru bosan, antara lain sebagai berikut. Pada umumnya guru merasa enggan untuk memasuki kelas-kelas yang siswanya mempunyai daya serap rendah atau bodoh. Gairah guru untuk mengajar kerap kali terpancing jika di dalam kelas ada beberapa orang siswa yang cukup pintar.
Namun sejak keberadaan kelas unggul di setiap sekolah (misalnya kelas RSBI, imersi, atau ICT) maka siswa-siswa yang memiliki daya serap tinggi terkonsentrasi di dalam satu kelas saja. Pada sekolah yang terdapat kelas terseleksi tersebut, gairah guru untuk melaksanakan PBM hanya lebih tertuju pada kelas unggul. Sedangkan untuk kelas-kelas non unggul yang jumlahnya cukup banyak dengan kemampuan siswa rendah terpaksa dimasuki oleh guru dengan rasa lesu dan letih. Namun memang tidak semua guru menunjukkan gejala yang demikian.
Muncul pertanyaan yang urgen di sini, mengapa siswa pada umumnya memiliki kemampuan rendah? Penyebab melempemnya daya serap siswa di sekolah adalah karena mereka tidak terbiasa dengan budaya membaca dan belajar mandiri sehingga mereka lambat dalam menganalisis.
Kebiasaan dalam belajar cuma menghafal melulu. Dapat diamati bahwa siswa yang telah terbiasa dalam budaya membaca tidak mengalami kesulitan dalam PBM. Tidak banyak siswa yang terbiasa dengan budaya membaca sehingga akibatnya adalah tidak banyak pula siswa yang memiliki daya serap tinggi.
Kejenuhan mengajar, selain disebabkan oleh faktor murid, faktor yang datang dari guru juga cukup bervariasi. Dulu menjadi guru memang serba dihormati dan sangat menyenangkan. Tetapi belakangan ini, dalam kehidupan yang serba hedonis dan materialis ini, guru terlalu banyak korban perasaan. Terlebih lagi semenjak profesi guru dipandang tidak terlalu terhormat disebabkan kebersahajaan yang melingkupinya.
Kalau kondisi terus berlarut seperti itu, menjadi pemandangan jamak, jika setiap hari banyak terdengar keluhan guru. Ada yang mengeluhkan badan kurang enak karena sakit gigi, sakit kepala, masuk angin, perut terasa kembung atau badan terasa pegal-pegal dimana ini semua ”judulnya” bosan. Mereka bosan untuk menunaikan tanggung jawab.

Kreatif versus Bosan
Penyebab rasa bosan ini adalah karena pada umumnya guru-guru kurang kreatif sehingga mereka jarang yang menjadi guru profesional.
Memang secara umum guru-guru terlihat kurang kreatif, meskipun sebagian kecil tentu ada yang kreatif. Rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam mengajar. Mereka masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu dan dalam penguasaan ilmu siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya tanpa melupakan titik dan komanya sekalipun. Penanganan masalah yang ditemui selama PBM pun juga secara tradisional. Kalau murid bersalah musti diberi nasehat dan kebanyakan sistem pemberian nasehat dalam bentuk komunikasi satu arah, dimana yang sering terlihat ketika guru bertutur kata adalah siswa menekur atau tidak boleh menjawab. Tetapi sekarang entah guru-guru banyak yang tidak bertuah dalam bertutur kata karena kesempitan ilmu dan wawasannya atau karena apresiasi murid terhadap guru kian berkurang maka sekarang seakan jurang komunikasi kian melebar.
Kreativitas guru pun terlihat lemah dalam PBM. Guru tidak tertarik memperbaharui metode mengajarnya dengan model-model pengajaran yang efektif, yang bisa menghidupkan suasana kelas dan menyenangkan. Model-model pembelajaran seperti Examples non Examples, Picture and Pictur, Numbered Heads Together, Cooperative Script, Student Teams-Achievement Divisions (STAD), Mind Mapping, Make – a Match, Think Pair and Share, dan lain-lain tidak pernah dicobanya. Presentasi pengajaran sudah terlihat semakin basi karena menggunakan metode yang itu ke itu juga. Gema hasil mengikuti penataran, apakah dalam bentuk MGMP, Bintek (bimbingan teknis) dianggap sepidan angin lalu saja. Kecuali yang terlihat, setelah guru mengikuti MGMP, penataran dsb, hanya semakin tertib dalam menulis silabus dan RPP namun pengaplikasiannya tidak diperbaharui.
Namun begitu, diantara guru-guru yang belum mampu memperlihatkan kreativitas, ada juga guru-guru yang kreatif. Meski mengajar banyak, namun karena kreatif mereka tetap tampak ceria dan segar dalam mengajar.
Kreatifitas guru, sangat ditentukan oleh keleluasaan dan kedalaman pengetahuan dan wawasan. Oleh sebab itu menjadi guru ideal haruslah selalu membiasakan untuk membelajarkan diri. Adalah sangat tepat bila seorang guru selain memahami bidang studinya juga mendalami pengetahuan umum lainnya sebagai khazanah dirinya. Guru yang luas wawasan dan ilmu pengetahuannya tidak akan pernah kehabisan bahan dalam proses belajar mengajar. Kalau sekarang ada ungkapan yang mengatakan bahwa mengajar itu adalah seni, maka mustahillah guru yang kering akan ilmu dan sempit wawasan dapat mengaplikasikannya sebagai seni.
Mengikuti program penyegaran dalam bentuk kegiatan penataran, musyawarah kerja, dan program peningkatan kualitas adalah sangat tepat. Sayang selama ini terlihat kegiatan-kegiatan penyegaran yang ada belum dikemas secara profesional. Dengan arti kata selama mengikuti program penyegaran, guru-guru hanya terlihat secara pasif dan paling kurang bertindak sebagai pendengar abadi. Itulah dampaknya setiap kali seorang guru selesai mengikuti MGMP dan penataran lain, misalnya, seolah-olah tidak membawa perubahan dalam proses belajar mengajar. Terasa seakan-akan apa yang diperoleh selama mengikuti penataran-penataran digambarkan dengan sebagai angin lalu saja.
Melatih diri untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dalam bentuk berpidato atau berceramah untuk masyarakat dan menyempatkan diri untuk menulis artikel-artikel adalah bentuk lain dari pengembangan kreativitas guru.
Mendalami psikologi remaja sehingga guru dapat memahami meningkatkan kreativitas guru dalam bertindak.
Jadi guru yang kreatif adalah guru yang kaya akan ide-ide dan menerapkan bentuk nyata. Dalam realita tampak bahwa kreativitas dapat mengatasi rasa bosan.

Proses Pembelajaran Demokratis
 Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang membelenggu seperti terurai pada bagian awal makalah ini, menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya Pendekatan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang nyata secara kritis. Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior, jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah sehingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri.
Aliran ini sesungguhnya telah berpandangan progresif. Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potersi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri.
Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat. Tangung jawab guru yang menempatkan diri sebagai teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa. Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis, dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya dialog ini, maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut adalah: Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
Ditengarai, salah satu sebab terpenting mutu pendidikan nasional yang rendah saat ini adalah karena pendidikan, terutama pendidikan dasar, selama tiga dekade terakhir tidak disajikan oleh guru yang profesional. Lembaga pendidikan yang bernama IKIP pada dekade 80an meredup. Lulusan SMA merasa gengsi masuk IKIP sekalipun negeri. Mereka merasa lebih prestise (hebat) memilih jurusan non kependidikan di PTS. Alhasil, guru direkrut bukan dari kelompok masyarakat yang terbaik; mereka yang bintang kelas hampir-hampir tidak bersedia menjadikan guru sebagai profesi mereka. Dalam kata lain, pendidikan telah dilakukan oleh para amatir.
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen dimaksudkan untuk secara struktural memperbaiki kondisi keterpurukan guru.
Sebuah profesi seharusnya adalah sebuah panggilan jiwa yang diwujudkan dalam karya pelayanan oleh sekelompok orang yang memiliki kualifikasi yang tinggi untuk melaksanakan kerja yang khusus, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang tuntas serta pengalaman yang penuh tanggungjawab, dan karena kemuliaan profesi ini mereka yang tidak memenuhi syarat tidak dapat diterima sebagai rekan seprofesi. Menjadi anggota sebuah profesi dengan demikian adalah sebuah kontrak untuk melayani masyarakat, melampaui semua bentuk kewajiban kepada klien atau majikan, sebagai imbalan atas keistimewaaan perlakuan masyarakat kepada profesi tersebut.

Merubah Mindset
Profesi guru sebagaimana profesi lainnya, membutuhkan sebuah proses aktualisasi terhadap metode serta pengetahuan baru. Caranya bisa bermacam-macam, dari berbicara mengenai profesionalitas dengan rekan sejawat, membaca buku kemudian mempresentasikannya di depan teman-teman guru, sampai hadir di dalam sebuah pelatihan serta seminar yang diadakan di ruang-ruang kelas, hingga hotel-hotel mewah. Seminar atau pelatihan tersebut biasanya diadakan saat hari aktif, dengan demikian guru harus meninggalkan kelas dan siswa yang diajarnya. Waktu penyelenggaraan acara tersebut terkadang juga diadakan pada saat hari libur bahkan hari minggu, ini menyebabkan berkurangnya waktu leisure bersama keluarga.
Dari gambaran di atas bisa dilihat bahwa upaya untuk menambah pengetahuan, menambah metode baru dalam dunia profesi guru membutuhkan pengorbanan serta waktu dan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian pengorbanan tersebut harus mempunyai akibat yang signifikan dengan cara mengajar guru di kelas. Kualitas seorang guru yang sudah mengikuti sebuah pelatihan atau seminar bisa dilihat dari cara mengajarnya di kelas.
Untuk membuat sebuah seminar atau pelatihan menjadi ”virus perubahan” bagi cara guru membelajarkan siswa di kelas, dibutuhkan sebuah mindset terhadap kegiatan dari pelatihan dan pembinaan guru yang akan diikutinya itu.
Apabila anda seorang guru ditugasi untuk mengikuti sebuah seminar atau pelatihan guru;
1.    Bersikaplah untuk menjadi orang yang amanah (ikhlas) dan berkomitmen untuk menyebarkan ”virus perubahan” saat anda dipilih oleh lembaga anda untuk hadir dalam sebuah seminar atau pelatihan
2.    Apabila berkesempatan mendapatkan dokumen presentasi dari penyaji letakkanlah di dalam folder yang mudah diakses kembali, atau dicetak dan di tempel di ruang guru atau ditempat yang gampang dilihat
3.    Carilah bahan pengetahuan dari media massa atau internet mengenai topik pelatihan yang akan anda hadiri, untuk menambah wacana dan rasa percaya diri, sehingga membantu anda untuk tetap fokus dan bersemangat dalam seminar yang diikuti.

Pembelajaran Inovatif
Pembelajaran inovatif adalah proses interaksi yang pro-perubahan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran yang pro-perubahan adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya imajinasi, kreasi, inovasi, nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, dan yang tidak tertambat pada tradisi dan kebiasaan pembelajaran yang lebih mementingkan memorisasi dan recall
Karakteristik pembelajaran inovatif:
1.    mendorong keingintahuan,
2.    keterbukaan pada kemungkinan-kemungkinan baru,
3.    prioritas pada fasilitasi kemerdekaan dan kreativitas dalam mencari jawaban atau pengetahuan baru (meskipun jawaban itu salah atau pengetahuan baru dimaksud belum dapat digunakan,
4.    pendekatan yang diwarnai oleh eksperimentasi untuk menemukan kemungki nan kemungkinan baru, dan
5.    ada mekanisme apresiasi prestasi.
Tujuan Utama Pembelajaran Inovatif
Tujuan utama pembelajaran inovatif adalah untuk memberdayakan potensi peserta didik agar mampu menumbuhkan daya imajinasi, kreasi, inovasi, nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasinya untuk menemukan hal-hal baru. Tujuan ini mensyaratkan bahwa pendidik harus lebih demokratis/egaliter dan mampu membebaskan peserta didik dari tekanan-tekanan kejiwaan.
Penutup
Sebagai kalimat penutup, guru yang profesional dapat diartikan sebagai guru yang dapat mengembangkan kecerdasan emosinya dan spiritualnya, dapat mengembangkan kreatifitas dalam pembelajaran, guru yang mampu memilih metode pembelajaran efektif untuk diimplementasikan pada SBM, guru yang dapat mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, dan guru yang dapat meningkatkan kualitas dirinya dan kualitas peserta didiknya.
Yang terakhir dan tidak kurang pentingnya menjadi guru adalah suatu profesi dimana terdapat tanggungjawab atas diri sendirinya sendiri, kepada orang lain, lingkungan, dan yang paling penting adalah tanggung jawab kepada Alloh Subhanahu Wata’ala.

 
DAFTAR  BACAAN
Danim, Sudarwan , Agenda Pembaruan  Sistem Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Freire, Paulo, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead, 2002).
Marjohan dalam bloger marjohanusman@yahoo.com
Slamet, Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: presentasi.
Tilaar, H. A. R., Paradigma Baru PendidikanNasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000)
Tuhusetya, Sawali, berbagai artikel. Bloger.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

No comments:

Post a Comment